Jikalau salah satu dari tiga syarat tersebut di atas itu ada yang ketinggalan maka tidak sahlah taubatnya.
Apabila kemaksiatan itu ada
hubungannya dengan sesama manusia, maka syarat-syaratnya itu ada empat macam,
yaitu tiga syarat yang tersebut di atas dan keempatnya ialah supaya melepaskan
tanggungan itu dari hak kawannya. Maka jikalau tanggungan itu berupa harta atau
yang semisal dengan itu, maka wajiblah mengembalikannya kepada yang berhak
tadi, jikalau berupa dakwaan zina atau yang semisal dengan itu, maka hendaklah
mencabut dakwaan tadi dari orang yang didakwakan atau meminta saja pengampunan
daripada kawannya dan jikalau merupakan pengumpatan, maka hendaklah meminta
penghalalan yakni pemaafan dari umpatannya itu kepada orang yang diumpat
olehnya. Seseorang itu wajiblah bertaubat dari segala macam dosa, tetapi
jikalau seseorang itu bertaubat dari sebagian dosanya, maka taubatnya itupun
sah dari dosa yang dimaksudkan itu, demikian pendapat para alim-ulama yang
termasuk golongan ahlul haq, namun saja dosa-dosa yang lain-lainnya masih tetap
ada dan tertinggal - yakni belum lagi ditaubati. Sudah jelaslah dalil-dalil
yang tercantum dalam Kitabullah, Sunnah Rasulullah s.a.w. serta ijma' seluruh
umat perihal wajibnya mengerjakan taubat itu.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan
bertaubatlah engkau semua kepada Allah, hai sekalian orang Mu'min, supaya
engkau semua memperoleh kebahagiaan." (an-Nur: 31)
Allah Ta'ala berfirman lagi:
"Mohon ampunlah kepada Tuhanmu semua dan bertaubatlah kepadaNya."
(Hud: 3)
Dan lagi firmanNya: "Hai
sekalian orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
nashuha -yakni yang sebenar-benarnya." (at-Tahrim: 8)
Keterangan:
Taubat nashuha itu wajib dilakukan
dengan memenuhi tiga macam syarat sebagaimana di bawah ini, yaitu:
a.
Semua hal-hal yang mengakibatkan terkena siksa, karena berupa perbuatan dosa
jika dikerjakan, wajib ditinggalkan secara sekaligus dan tidak diulangi lagi.
b.
Bertekad bulat dan teguh untuk memurnikan serta membersihkan diri sendiri dari
semua perkara dosa tadi tanpa bimbang dan ragu-ragu.
c.
Segala perbuatannya jangan dicampuri apa-apa yang mungkin dapat mengotori atau
sebab-sebab yang menjurus ke arah dapat merusakkan taubatnya itu.
13. Dari Abu Hurairah r.a. berkata:
Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Demi Allah, sesungguhnya saya
itu memohonkan pengampunan kepada Allah serta bertaubat kepadaNya dalam sehari
lebih dari tujuh puluh kali." (Riwayat Bukhari)
14. Dari Aghar bin Yasar al-Muzani
r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai sekalian manusia,
bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah pengampunan daripadaNya, karena sesungguhnya
saya ini bertaubat dalam sehari seratus kali." (Riwayat Muslim)
15. Dari Abu Hamzah yaitu Anas bin
Malik al-Anshari r.a., pelayan Rasulullah s.a.w., katanya: Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat hambaNya
daripada gembiranya seorang dari engkau semua yang jatuh di atas untanya dan
oleh Allah ia disesatkan di suatu tanah yang luas." (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan
demikian: "Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat hambaNya ketika
ia bertaubat kepadaNya daripada gembiranya seorang dari engkau semua yang
berada di atas kendaraannya -yang dimaksud ialah untanya- dan berada di suatu
tanah yang luas, kemudian kehilangan kendaraannya itu dari dirinya, sedangkan
di situ ada makanan dan minumannya. Orang tadi lalu berputus-asa. Kemudian ia
mendatangi sebuah pohon terus tidur berbaring di bawah naungannya, sedang
hatinya sudah berputus-asa sama sekali dari kendaraannya tersebut. Tiba-tiba di
kala ia berkeadaan sebagaimana di atas itu, kendaraannya itu tampak berdiri di
sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Oleh sebab sangat gembiranya maka ia
berkata: "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu". Ia
menjadi salah ucapannya karena amat gembiranya."
Keterangan:
Jadi kegembiraan Allah Ta'ala di
kala mengetahui ada hambaNya yang bertaubat itu adalah lebih sangat dari
kegembiraan orang yang tersebut dalam cerita di atas itu.
16. Dari Abu Musa Abdullah bin Qais
al-Asy'ari r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala
itu membeberkan tanganNya -yakni kerahmatanNya- di waktu malam untuk menerima
taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu siang dan juga membeberkan
tanganNya di waktu siang untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan
di waktu malam. Demikian ini terus menerus sampai terbitnya matahari dari arah
barat -yakni di saat hampir tibanya hari kiamat, karena setelah ini terjadi,
tidak diterima lagi taubatnya seorang." (Riwayat Muslim)
17. Dari Abu Hurairah r.a., katanya:
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit
dari arah barat, maka Allah menerima taubatnya orang itu." (Riwayat
Muslim)
Keterangan:
Uraian dalam hadits di atas sesuai
dengan firman Allah dalam al-Quran al-Karim, surat Nisa', ayat 18 yang
berbunyi: "Taubat itu tidaklah diterima bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan, sehingga di kala salah seorang dari mereka itu telah didatangi
kematian -sudah dekat ajalnya dan ruhnya sudah di kerongkongan- tiba-tiba ia
mengatakan: "Aku sekarang bertaubat."
18. Dari Abu Abdur Rahman yaitu
Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w.,
sabdanya: "Sesungguhnya Allah 'Azzawajalla itu menerima taubatnya seorang
hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongannya -yakni ketika akan meninggal
dunia." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah
hadits hasan.
19. Dari Zir bin Hubaisy, katanya:
"Saya mendatangi Shafwan bin 'Assal r.a. perlu menanyakan soal mengusap
dua buah sepatu khuf (but). Shafwan berkata: "Apakah yang menyebabkan
engkau datang ini, hai Zir?" Saya menjawab: "karena ingin mencari
ilmu pengetahuan." Ia berkata lagi: "Sesungguhnya para malaikat itu
sama meletakkan sayap-sayapnya -yakni berhenti terbang dan ingin pula
mendengarkan ilmu atau karena tunduk menghormat- kepada orang yang menuntut
ilmu, karena ridha dengan apa yang dicarinya." Saya berkata:
"Sebenarnya saya sudah tergerak dalam hatiku akan mengusap di atas dua
buah sepatu khuf itu sehabis buang air besar atau kecil.
Engkau adalah termasuk salah seorang
sahabat Nabi s.a.w., maka dari itu saya datang ini untuk menanyakannya
kepadamu. Apakah engkau pernah mendengar beliau s.a.w. menyebutkan persoalan
mengusap sepatu khuf itu daripadanya?" Shafwan menjawab: "Ya pernah.
Rasulullah s.a.w. menyuruh kita semua, jikalau kita sedang dalam berpergian,
supaya kita jangan melepaskan sepatu khuf kita selama tiga hari dengan malamnya
sekali, kecuali jikalau kita terkena janabah, tetapi kalau hanya karena
membuang air besar atau kecil atau karena sehabis tidur, tidak perlu
dilepaskan." Saya berkata lagi: "Apakah engkau pernah mendengar
beliau s.a.w. menyebutkan persoalan cinta?" Dia menjawab: "Ya pernah.
Pada suatu ketika kita bersama dengan Rasulullah s.a.w. dalam berpergian. Di
kala kita berada di sisinya itu, tiba-tiba ada seorang a'rab (orang Arab dari
pegunungan) memanggil beliau itu dengan suara yang keras sekali, katanya:
"Hai Muhammad." Rasulullah s.a.w. menjawabnya dengan suara yang
sekeras suaranya itu pula: "Mari kemari". Saya berkata pada orang a'rab
tadi: "Celaka engkau ini, perlahankanlah suaramu, sebab engkau ini
benar-benar ada di sisi Nabi s.a.w., sedangkan aku dilarang semacam ini -yakni
bersuara keras-keras di hadapannya-." Orang a'rab itu berkata: "Demi
Allah, saya tidak akan memperlahankan suaraku." Kemudian ia berkata kepada
Nabi s.a.w.: "Ada orang mencintai sesuatu golongan, tetapi ia tidak dapat
menyamai mereka -dalam hal amal perbuatannya serta cara mencari kesempurnaan
kehidupan dunia dan akhiratnya." Nabi s.a.w. menjawab: "Seseorang itu
dapat menyertai orang yang dicintai olehnya besok pada hari kiamat." Tidak
henti-hentinya beliau memberitahukan apa saja kepada kita, sehingga akhirnya
menyebutkan bahwa di arah barat itu ada sebuah pintu yang perjalanan luasnya
yakni sekiranya seorang yang berkendaraan berjalan hendak menempuh jarak
luasnya itu, maka jarak antara dua ujung pintu tadi adalah sejauh empat puluh
atau tujuh puluh tahun." Salah seorang yang meriwayatkan hadits ini yaitu
Sufyan mengatakan: "Di arah Syam pintu itu dijadikan oleh Allah Ta'ala
sejak hari Dia menciptakan semua langit dan bumi, senantiasa terbuka untuk
taubat, tidak pernah ditutup sehingga terbitlah matahari dari sebelah barat
yakni dari dalam pintu tadi." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan
lain-lainnya dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih.
20. Dari Abu Said, yaitu Sa'ad bin
Sinan al-Khudri r.a. bahwasanya Nabiyullah s.a.w. bersabda: "Ada seorang
lelaki dari golongan umat yang sebelummu telah membunuh sembilan puluh sembilan
manusia, kemudian ia menanyakan tentang orang yang teralim dari penduduk bumi,
lalu ia ditunjukkan pada seorang pendeta. Iapun mendatanginya dan selanjutnya
berkata bahwa sesungguhnya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia,
apakah masih diterima untuk bertaubat. Pendeta itu menjawab: "Tidak
dapat." Kemudian pendeta itu dibunuhnya sekali dan dengan demikian ia
telah menyempurnakan jumlah seratus dengan ditambah seorang lagi itu. Lalu ia
bertanya lagi tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, kemudian
ditunjukkan pada seorang yang alim, selanjutnya ia mengatakan bahwa
sesungguhnya ia telah membunuh seratus manusia, apakah masih diterima
taubatnya. Orang alim itu menjawab: "Ya, masih dapat. Siapa yang dapat
menghalang-halangi antara dirinya dengan taubat itu. Pergilah engkau ke tanah
begini-begini, sebab di situ ada beberapa kelompok manusia yang sama menyembah
Allah Ta'ala, maka menyembahlah engkau kepada Allah itu bersama-sama dengan
mereka dan janganlah engkau kembali ke tanahmu sendiri, sebab tanahmu adalah
negeri yang buruk." Orang itu terus pergi sehingga di waktu ia telah
sampai separuh perjalanan, tiba-tiba ia didatangi oleh kematian. Kemudian
bertengkarlah untuk mempersoalkan diri orang tadi malaikat kerahmatan dan
malaikat siksaan -yakni yang bertugas memberikan kerahmatan dan bertugas
memberikan siksa-, malaikat kerahmatan berkata: "Orang ini telah datang
untuk bertaubat sambil menghadapkan hatinya kepada Allah Ta'ala." Malaikat
siksaan berkata: "Bahwasanya orang ini sama sekali belum pernah melakukan
kebaikan sedikitpun." Selanjutnya ada seorang malaikat yang mendatangi
mereka dalam bentuk seorang manusia, lalu ia dijadikan sebagai pemisah antara
malaikat-malaikat yang berselisih tadi, yakni dijadikan hakim pemutusnya -untuk
menetapkan mana yang benar. Ia berkata: "Ukurlah olehmu semua antara dua
tempat di bumi itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka orang ini adalah
untuknya- maksudnya jikalau lebih dekat ke arah bumi yang dituju untuk
melaksanakan taubatnya, maka ia adalah milik malaikat kerahmatan dan jikalau
lebih dekat dengan bumi asalnya maka ia adalah milik malaikat siksaan."
Malaikat-malaikat itu mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut
adalah lebih dekat kepada bumi yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk
melaksanakan taubatnya. Oleh sebab itu maka ia dijemputlah oleh malaikat
kerahmatan." (Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah riwayat yang shahih
disebutkan demikian: "Orang tersebut lebih dekat sejauh sejengkal saja
pada pedesaan yang baik itu- yakni yang hendak didatangi, maka dijadikanlah ia
termasuk golongan penduduknya." Dalam riwayat lain yang shahih pula
disebutkan: Allah Ta'ala lalu mewahyukan kepada tanah yang ini -tempat asalnya-
supaya engkau menjauh dan kepada tanah yang ini -tempat yang hendak dituju-
supaya engkau mendekat -maksudnya supaya tanah asalnya itu memanjang sehingga
kalau diukur akan menjadi jauh, sedang tanah yang dituju itu menyusut sehingga
kalau diukur menjadi dekat jaraknya. Kemudian firmanNya: "Ukurlah antara
keduanya." Malaikat-malaikat itu mendapatkannya bahwa kepada yang ini
-yang dituju- adalah lebih dekat sejauh sejengkal saja jaraknya. Maka orang
itupun diampunilah dosa-dosanya." Dalam riwayat lain lagi disebutkan:
"Orang tersebut bergerak -amat susah payah karena hendak mati- dengan
dadanya ke arah tempat yang dituju itu."
Keterangan:
Uraian hadits ini menjelaskan
perihal lebih utamanya berilmu pengetahuan dalam seluk-beluk agama, apabila
dibandingkan dengan terus beribadah tanpa mengetahui bagaimana yang semestinya
dilakukan. Juga menjelaskan perihal keutamaan 'uzlah atau mengasingkan diri di
saat keadaan zaman sudah bisa dikatakan rusak binasa dan kemaksiatan serta
kemungkaran merajalela di mana-mana.
21. Dari Abdullah bin Ka'ab bin
Malik dan ia -yakni Abdullah- adalah pembimbing Ka'ab r.a. dari golongan
anak-anaknya ketika Ka'ab -yakni ayahnya itu- sudah buta matanya, katanya:
"Saya mendengar Ka'ab bin Malik r.a. menceritakan perihal peristiwanya
sendiri ketika membelakang -artinya tidak mengikuti- Rasulullah s.a.w. dalam
peperangan Tabuk." Ka'ab berkata: "Saya tidak pernah membelakang
-tidak mengikuti- Rasulullah s.a.w. dalam suatu peperanganpun kecuali dalam
peperangan Tabuk. Hanya saja saya juga pernah tidak mengikuti dalam peperangan
Badar, tetapi beliau s.a.w. tidak mengolok-olokkan seorangpun yang tidak
mengikutinya itu - yakni Badar. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. keluar bersama
kaum Muslimin menghendaki kafilahnya kaum Quraisy, sehingga Allah Ta'ala
mengumpulkan antara mereka itu dengan musuhnya dalam waktu yang tidak
ditentukan. Saya juga ikut menyaksikan bersama Rasulullah s.a.w. di malam
'aqabah di waktu kita berjanji saling memperkokohkan Islam dan saya tidak
senang andaikata tidak mengikuti malam 'aqabah itu sekalipun umpamanya saya
ikut menyaksikan peperangan Badar dan sekalipun pula bahwa peperangan Badar itu
lebih termasyhur sebutannya di kalangan para manusia daripada malam 'aqabah
tadi. Perihal keadaanku ketika saya tidak mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam
peperangan Tabuk ialah bahwa saya sama-sekali tidak lebih kuat dan tidak pula
lebih ringan dalam perasaanku sewaktu saya tidak mengikuti peperangan tersebut.
Demi Allah saya belum pernah mengumpulkan dua buah kendaraan sebelum adanya
peperangan Tabuk itu, sedang untuk peperangan ini saya dapat mengumpulkan
keduanya. Tidak pula Rasulullah s.a.w. itu menghendaki suatu peperangan,
melainkan tentu beliau berniat pula dengan peperangan yang berikutnya sehingga
sampai terjadinya peperangan Tabuk. Rasulullah s.a.w. berangkat dalam
peperangan Tabuk itu dalam keadaan panas yang sangat dan menghadapi suatu
perjalanan yang jauh lagi harus menempuh daerah yang sukar memperoleh air dan
tentulah pula akan menghadapi musuh yang jumlahnya amat besar sekali. Beliau
s.a.w. kemudian menguraikan maksudnya itu kepada seluruh kaum Muslimin dan
menjelaskan persoalan mereka, supaya mereka dapat bersiap untuk menyediakan
perbekalan peperangan mereka. Beliau s.a.w. memberitahukan pada mereka dengan
tujuan yang dikehendaki. Kaum Muslimin yang menyertai Rasulullah s.a.w. itu banyak
sekali, tetapi mereka itu tidak terdaftarkan dalam sebuah buku yang
terpelihara." Yang dimaksud oleh Ka'ab ialah adanya buku catatan yang
berisi daftar mereka itu.
Ka'ab berkata: "Maka sedikit
sekali orang yang ingin untuk tidak menyertai peperangan tadi, melainkan ia
juga menyangka bahwa dirinya akan tersamarkan, selama tidak ada wahyu yang
turun dari Allah Ta'ala -maksudnya karena banyaknya orang yang mengikuti, maka
orang yang berniat tidak mengikuti tentu tidak akan diketahui oleh siapapun sebab
catatannyapun tidak ada-. Rasulullah s.a.w. berangkat dalam peperangan Tabuk
itu di kala buah-buahan sedang enak-enaknya dan naungan-naungan di bawahnya
sedang nyaman-nyamannya. Saya amat senang sekali pada buah-buahan serta naungan
itu. Rasulullah s.a.w. bersiap-siap dan sekalian kaum Muslimin juga demikian.
Saya mulai pergi untuk ikut bersiap-siap pula dengan beliau, tetapi saya lalu
mundur lagi dan tidak ada sesuatu urusanpun yang saya selesaikan, hanya dalam
hati saya berkata bahwa saya dapat sewaktu-waktu berangkat jikalau saya
menginginkan. Hal yang sedemikian itu selalu saja mengulur-ulurkan waktu
persiapanku, sehingga orang-orang giat sekali untuk mengadakan perbekalan
mereka, sedangkan saya sendiri belum ada persiapan sedikitpun. Kemudian saya pergi
lagi lalu kembali pula dan tidak pula ada sesuatu urusan yang dapat saya
selesaikan. Keadaan sedemikian ini terus-menerus menyebabkan saya
mengulur-ulurkan waktu keberangkatanku, sehingga orang-orang banyak telah
bergegas-gegas dan majulah mereka yang hendak mengikuti peperangan itu. Saya
bermaksud akan berangkat kemudian dan selanjutnya tentu dapat menyusul mereka
yang berangkat lebih dulu.
Alangkah baiknya sekiranya maksud
itu saya laksanakan, tetapi kiranya yang sedemikian tadi tidak ditakdirkan untuk
dapat saya kerjakan. Dengan begitu maka setiap saya keluar bertemu dengan
orang-orang banyak setelah berangkatnya Rasulullah s.a.w. itu, keadaan
sekelilingku itu selalu menyedihkan hatiku, karena saya mengetahui bahwa diriku
itu hanyalah sebagai suatu tuntunan -contoh- yang dapat dituduh melakukan
kemunafikan atau hanya sebagai seorang yang dianggap beruzur oleh Allah Ta'ala
karena termasuk golongan kaum yang lemah -tidak kuasa mengikuti peperangan.
Rasulullah s.a.w. kiranya tidak mengingat akan diriku sehingga beliau datang di
Tabuk, maka sewaktu beliau duduk di kalangan kaumnya di Tabuk, tiba-tiba
bertanya: "Apa yang dilakukan oleh Ka'ab bin Malik?" Seorang dari
golongan Bani Salimah menjawab: "Ya Rasulullah, ia ditahan oleh pakaian indahnya
dan oleh keadaan sekelilingnya yang permai pandangannya." Kemudian Mu'az
bin Jabal r.a. berkata: "Buruk sekali yang kau katakan itu. Demi Allah ya
Rasulullah, kita tidak pernah melihat keadaan Ka'ab itu kecuali yang baik-baik
saja." Rasulullah s.a.w. berdiam diri. Ketika beliau s.a.w. dalam keadaan
seperti itu lalu melihat ada seorang yang mengenakan pakaian serba putih yang
digerak-gerakkan oleh fatamorgana -sesuatu yang tampak semacam air dalam
keadaan yang panas terik di padang pasir- Rasulullah s.a.w. bersabda: "Engkaukah
Abu Khaitsamah?" Memang orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshari dan ia
adalah yang pernah bersedekah dengan sesha' kurma ketika dicaci oleh kaum
munafikin. Ka'ab berkata selanjutnya: "Setelah ada berita yang sampai di
telingaku bahwa Rasulullah s.a.w. telah menuju -pulang- kembali dengan
kafilahnya dari Tabuk, maka datanglah kesedihanku lalu saya mulai
mengingat-ingat bagaimana sekiranya saya berdusta -untuk mengada-adakan alasan
tidak mengikuti peperangan. Saya berkata pada diriku, bagaimana caranya supaya
dapat keluar -terhindar- dari kemurkaannya besok sekiranya beliau telah tiba.
Sayapun meminta bantuan untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini dengan
setiap orang yang banyak mempunyai pendapat dari golongan keluargaku. Setelah
diberitahukan bahwa Rasulullah s.a.w. telah tiba maka lenyaplah kebathilan dari
jiwaku -yakni keinginan akan berdusta itu- sehingga saya mengetahui bahwa saya
tidak dapat menyelamatkan diriku dari kemurkaannya itu dengan sesuatu apapun
untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu saya menyatukan pendapat hendak mengatakan
secara sebenarnya belaka. Rasulullah s.a.w. itu apabila datang dari perjalanan,
tentu memulai dengan memasuki masjid, kemudian bershalat dua rakaat, kemudian
duduk di hadapan orang banyak. Setelah beliau melakukan yang sedemikian itu,
maka datanglah padanya orang-orang yang membelakang -tidak mengikuti
peperangan- untuk mengemukakan alasan mereka dan mereka pun bersumpah dalam
mengemukakan alasan-alasannya itu. Jumlah yang tidak mengikuti itu ada delapan
puluh lebih -tiga sampai sembilan. Beliau s.a.w. menerima alasan-alasan yang
mereka kemukakan secara terus terang itu, juga membai'at -meminta janji setia-
mereka serta memohonkan pengampunan untuk mereka pula, sedang apa yang
tersimpan dalam hati mereka bulat-bulat diserahkan kepada Allah Ta'ala.
Demikianlah sehingga sayapun datanglah menghadap beliau s.a.w. itu. Setelah
saya mengucapkan salam padanya, beliau tersenyum bagaikan senyumnya orang yang
murka, kemudian bersabda: "Kemarilah!" Saya mendatanginya sambil
berjalan sehingga saya duduk di hadapannya, kemudian beliau s.a.w. bertanya
padaku: "Apakah yang menyebabkan engkau tertinggal, bukankah engkau telah
membeli unta untuk kendaraanmu?" Ka'ab berkata: "Saya lalu menjawab:
Ya Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah, andaikata saya duduk di sisi
selain Tuan dari golongan ahli dunia, sesungguhnya saya berpendapat bahwa saya
akan dapat keluar dari kemurkaannya dengan mengemukakan suatu alasan.
Sebenarnya saya telah dikaruniai kepandaian dalam bercakap-cakap. Tetapi saya
ini, demi Allah, pasti dapat mengerti bahwa andaikata saya memberitahukan
kepada Tuan dengan suatu cerita bohong pada hari ini yang Tuan akan merasa rela
dengan ucapanku itu, namun sesungguhnya Allah hampir-hampir akan memurkai Tuan
karena perbuatanku itu. Sebaliknya jikalau saya memberitahukan kepada Tuan
dengan cerita yang sebenarnya yang dengan demikian itu Tuan akan murka atas
diriku dalam hal ini, sesungguhnya saya hanyalah menginginkan keakhiran yang
baik dari Allah 'Azzawajalla. Demi Allah, saya tidak beruzur sedikitpun
-sehingga tidak mengikuti peperangan itu. Demi Allah, sama sekali saya belum
merasakan bahwa saya lebih kuat dan lebih ringan untuk mengikutinya itu, yakni
di waktu saya membelakang daripada Tuan -sehingga jadi tidak ikut
berangkat." Ka'ab berkata: "Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: Tentang
orang ini, maka pembicaraannya memang benar -tidak berdusta. Oleh sebab itu
bolehlah engkau berdiri sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang
dirimu." Ada beberapa orang dari golongan Bani Salimah yang berjalan
mengikuti jejakku, mereka berkata: "Demi Allah, kita tidak menganggap
bahwa engkau telah pernah bersalah dengan melakukan sesuatu dosapun sebelum
saat ini. Engkau agaknya tidak kuasa, mengapa engkau tidak mengemukakan keuzuranmu
saja kepada Rasulullah s.a.w. sebagaimana keuzuran yang dikemukakan oleh
orang-orang yang tertinggal yang lain-lain. Sebenarnya bukankah telah mencukupi
untuk menghilangkan dosamu itu jikalau Rasulullah s.a.w. suka memohonkan
pengampunan kepada Allah untukmu. Ka'ab berkata: "Demi Allah, tidak
henti-hentinya orang-orang itu mengolok-olokkan diriku -karena menggunakan cara
yang dilakukan sebagaimana di atas yang telah terjadi itu- sehingga saya sekali
hendak kembali saja kepada Rasulullah s.a.w.- untuk mengikuti cara orang-orang
Bani Salimah itu, agar saya mendustakan diriku sendiri. Kemudian saya berkata
kepada orang-orang itu: "Apakah ada orang lain yang menemui peristiwa
sebagaimana hal yang saya temui itu?" Orang-orang itu menjawab: "Ya,
ada dua orang yang menemui keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana
yang engkau katakan lalu terhadap keduanya itupun diucapkan -oleh Rasulullah
s.a.w.- sebagaimana kata-kata yang diucapkan padamu." Ka'ab berkata:
"Siapakah kedua orang itu?" Orang-orang menjawab: "Mereka itu
ialah Murarah bin Rabi'ah al-'Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi."
Ka'ab berkata: "Orang-orang itu menyebut-nyebutkan di mukaku bahwa kedua
orang itu adalah orang-orang shahih dan juga benar-benar ikut menyaksikan peperangan
Badar dan keduanya dapat dijadikan sebagai contoh -dalam keberanian dan
lain-lain." Ka'ab berkata: "Saya pun lalu terus pergi di kala mereka
telah selesai menyebut-nyebutkan tentang kedua orang tersebut di atas di
mukaku. Rasulullah s.a.w. melarang kita -kaum Muslimin- untuk bercakap-cakap
dengan ketiga orang diantara orang-orang yang sama membelakang -tidak mengikuti
perjalanan- beliau itu." Ka'ab berkata: "Orang-orang sama menjauhi
kita," dalam riwayat lain ia berkata: "Orang-orang sama berubah sikap
terhadap kita bertiga, sehingga dalam jiwaku seolah-olah bumi ini tidak
mengenal lagi akan diriku, maka seolah-olah bumi ini adalah bukan bumi yang
saya kenal sebelumnya. Kita bertiga berhal -berkeadaan- demikian itu selama
lima puluh malam -dengan harinya. Adapun dua kawan saya, maka keduanya itu
menetap saja dan selalu duduk-duduk di rumahnya sambil menangis. Tentang saya
sendiri, maka saya adalah yang termuda di kalangan kita bertiga dan lebih tahan
-mendapatkan ujian. Oleh sebab itu sayapun keluar serta menyaksikan shalat
jamaah bersama kaum Muslimin lain-lain dan juga suka berkeliling di
pasar-pasar, tetapi tidak seorangpun yang mengajak bicara padaku. Saya pernah
mendatangi Rasulullah s.a.w. dan mengucapkan salam padanya dan beliau ada di
majlisnya sehabis shalat, kemudian saya berkata dalam hatiku, apakah beliau
menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku itu ataukah tidak.
Selanjutnya saya bershalat dekat sekali pada tempatnya itu dan saya
mengamat-amatinya dengan pandanganku. Jikalau saya mulai mengerjakan shalat,
beliau melihat padaku, tetapi jikalau saya menoleh padanya, beliaupun lalu
memalingkan mukanya dari pandanganku. Demikian halnya, sehingga setelah terasa
amat lama sekali penyeteruan kaum Muslimin itu terhadap diriku, lalu saya
berjalan sehingga saya menaiki dinding muka dari rumah Abu Qatadah. Ia adalah
anak pamanku -jadi sepupunya- dan ia adalah orang yang tercinta bagiku diantara
semua orang. Saya memberikan salam padanya, tetapi demi Allah, ia tidak
menjawab salamku itu. Kemudian saya berkata kepadanya: "Hai Abu Qatadah,
saya hendak bertanya padamu karena Allah, apakah engkau mengetahui bahwa saya
ini mencintai Allah dan RasulNya s.a.w.?" Ia diam saja, lalu saya ulangi
lagi dan bertanya sekali iagi padanya, iapun masih diam saja. Akhirnya saya
ulangi lagi dan saya menanyakannya sekali lagi, lalu ia berkata: "Allah
dan RasulNya yang lebih mengetahui tentang itu." Oleh sebab jawabnya ini,
maka mengalirlah air mataku dan saya meninggalkannya sehingga saya menaiki
dinding rumah tadi. Di kala saya berjalan di pasar kota, tiba-tiba ada seorang
petani dari golongan petani negeri Syam (Palestina), yaitu dari golongan
orang-orang yang datang dengan membawa makanan yang hendak dijualnya di
Madinah, lalu orang itu berkata: "Siapakah yang suka menunjukkan, manakah
yang bernama Ka'ab bin Malik." Orang-orang lain sama menunjukkannya
kearahku, sehingga orang itupun mendatangi tempatku, kemudian menyerahkan
sepucuk surat dari raja Ghassan -yang beragama Kristen. Saya memang orang yang
dapat menulis, maka surat itupun saya baca, tiba-tiba isinya adalah sebagai
berikut: "Amma ba'd. Sebenarnya telah sampai berita pada kami bahwa
sahabatmu -yakni Muhammad s.a.w.- telah menyeterumu. Allah tidaklah menjadikan
engkau untuk menjadi orang hina di dunia ataupun orang yang dihilangkan
hak-haknya. Maka dari itu susullah kami -maksudnya datanglah di tempat kami-
maka kami akan menggembirakan hatimu." Kemudian saya berkata setelah
selesai membacanya itu: "Ah, inipun juga termasuk bencana pula," lalu
saya menuju ke dapur dengan membawa surat tadi kemudian saya membakarnya.
Selanjutnya setelah lepas waktu selama empat puluh hari dari jumlah lima puluh
hari, sedang waktu agak terlambat datangnya tiba-tiba datanglah di tempatku
seorang utusan dari Rasulullah s.a.w., terus berkata: "Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. memerintahkan padamu supaya engkau menyendirikan -menjauhi-
istrimu." Saya bertanya: "Apakah saya harus menceraikannya atau
apakah yang harus saya lakukan?" Ia berkata: "Tidak usah menceraikan,
tetapi menyendirilah daripadanya, jadi jangan sekali-kali engkau
mendekatinya." Rasulullah s.a.w. juga mengirimkan utusan kepada kedua
sahabat saya -yang senasib di atas- sebagaimana yang dikirimkannya padaku. Oleh
sebab itu lalu saya berkata pada istriku: "Susullah dulu keluargamu -maksudnya
pergilah ke tempat kedua orang tuamu. Beradalah di sisi mereka sehingga Allah
akan menentukan bagaimana kelanjutan peristiwa ini." Istri Hilal bin
Umayyah mendatangi Rasulullah s.a.w., lalu berkata pada beliau: "Ya
Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah itu seorang yang amat tua dan hanya
sebatang kara, tidak mempunyai pelayan juga. Apakah Tuan juga tidak senang
andaikata saya tetap melayaninya?" Beliau s.a.w. menjawab: "Tidak,
tetapi jangan sekali-kali ia mendekatimu -jangan berkumpul seketiduran
denganmu." Istrinya berkata lagi: "Sesungguhnya Hilal itu demi Allah,
sudah tidak mempunyai gerak sama sekali pada sesuatupun dan demi Allah, ia
senantiasa menangis sejak terjadinya peristiwa itu sampai pada hari ini."
Sebagian keluargaku berkata padaku: "Alangkah baiknya sekiranya engkau
meminta izin kepada Rasulullah s.a.w. dalam persoalan istrimu itu. Rasulullah
s.a.w. juga telah mengizinkan kepada istri Hilal bin Umayyah untuk tetap
melayaninya." Saya berkata: "Saya tidak akan meminta izin untuk istriku
itu kepada Rasulullah s.a.w., saya pun tidak tahu bagaimana nanti yang akan
diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. sekiranya saya meminta izin pada beliau
perihal istriku itu -yakni supaya boleh tetap melayani diriku? Saya adalah
seorang yang masih muda." Saya tetap berkeadaan sebagaimana di atas itu
-tanpa istri- selama sepuluh malam dengan harinya sekali maka telah genaplah
jumlahnya menjadi lima puluh hari sejak kaum Muslimin dilarang bercakap-cakap
dengan kita. Selanjutnya saya bershalat Subuh pada pagi hari kelima puluh itu
di muka rumah dari salah satu rumah keluarga kami. Kemudian di kala saya sedang
duduk dalam keadaan yang disebutkan oleh Allah Ta'ala perihal diri kita itu
-yakni ketika kami bertiga sedang dikucilkan, jiwaku terasa amat sempit sedang bumi
yang luas terasa amat kecil, tiba-tiba saya mendengar suara teriakan seorang
yang berada di atas gunung Sala'- sebuah gunung di Madinah, ia berkata dengan
suaranya yang amat keras: "Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah."
Segera setelah mendengar itu, sayapun bersujud -syukur- dan saya meyakinkan
bahwa telah ada kelapangan yang datang untukku. Rasulullah s.a.w. telah
memberitahukan pada orang-orang banyak bahwa taubat kita bertiga telah diterima
oleh Allah 'Azzawajalla, yaitu di waktu beliau bershalat Subuh. Maka
orang-orangpun menyampaikan berita gembira itu pada kita dan ada pula
pembawa-pembawa kegembiraan itu yang mendatangi kedua sahabatku -yang senasib.
Ada seorang yang dengan cepat-cepat melarikan kudanya serta bergegas-gegas
menuju ke tempatku dari golongan Aslam - namanya Hamzah bin Umar al-Aslami. Ia
menaiki gunung dan suaranya itu kiranya lebih cepat terdengar olehku daripada
datangnya kuda itu sendiri. Setelah dia datang padaku yakni orang yang kudengar
suaranya tadi, iapun memberikan berita gembira padaku, kemudian saya melepaskan
kedua bajuku dan saya berikan kepadanya untuk dipakai, sebagai hadiah dari
berita gembira yang disampaikannya itu. Demi Allah, saya tidak mempunyai
pakaian selain keduanya tadi pada hari itu. Maka sayapun meminjam dua buah baju
-dari orang lain- dan saya kenakan lalu berangkat menuju ke tempat Rasulullah
s.a.w. Orang-orang sama menyambut kedatanganku itu sekelompok demi sekelompok
menyatakan ikut gembira padaku sebab taubatku yang telah diterima.
Mereka berkata: "Semoga
gembiralah hatimu karena Allah telah menerima taubatmu itu." Demikian
akhirnya saya memasuki masjid, di situ Rasulullah s.a.w. sedang duduk dan di
sekelilingnya ada beberapa orang. Thalhah bin Ubaidullah r.a. lalu berdiri
cepat-cepat kemudian menjabat tanganku dan menyatakan ikut gembira atas diriku.
Demi Allah tidak ada seorangpun dari golongan kaum Muhajirin yang berdiri
selain Thalhah itu. Oleh sebab itu Ka'ab tidak akan melupakan peristiwa itu
untuk Thalhah. Ka'ab berkata: "Ketika saya mengucapkan salam kepada
Rasulullah s.a.w. beliau tampak berseri-seri wajahnya karena gembiranya lalu
bersabda: "Bergembiralah dengan datangnya suatu hari baik yang pernah
engkau alami sejak engkau dilahirkan oleh ibumu." Saya bertanya:
"Apakah itu datangnya dari sisi Tuan sendiri ya Rasulullah, ataukah dari
sisi Allah?" Beliau s.a.w. menjawab: "Tidak dari aku sendiri, tetapi
memang dari Allah 'Azzawajalla". Rasulullah s.a.w. itu apabila gembira
hatinya, maka wajahnya pun bersinar indah, seolah-olah wajahnya itu adalah sepenuh
bulan, kita semua mengetahui hal itu. Setelah saya duduk di hadapannya, saya
lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya untuk menyatakan taubatku itu
ialah saya hendak melepaskan sebagian hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan
RasulNya." Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tahanlah untukmu sendiri
sebagian dari harta-hartamu itu, sebab yang sedemikian itu adalah lebih
baik." Saya menjawab: "Sebenarnya saya telah menahan bagianku yang
ada di tanah Khaibar." Selanjutnya saya meneruskan: "Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah telah menyelamatkan diriku dengan jalan berkata benar, maka
sebagai tanda taubatku pula ialah bahwa saya tidak akan berkata kecuali yang
sebenarnya saja selama kehidupanku yang masih tertinggal." Demi Allah,
belum pernah saya melihat seorangpun dari kalangan kaum Muslimin yang diberi
cobaan oleh Allah Ta'ala dengan sebab kebenaran kata-kata yang diucapkan, sejak
saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. yang jadinya lebih baik dari
yang telah dicobakan oleh Allah Ta'ala pada diriku sendiri. Demi Allah, saya
tidak bermaksud akan berdusta sedikitpun sejak saya mengatakan itu kepada
Rasulullah s.a.w. sampai pada hariku ini dan sesungguhnya sayapun mengharapkan
agar Allah Ta'ala senantiasa melindungi diriku dari kedustaan itu dalam kehidupan
yang masih tertinggal untukku." Ka'ab berkata; "Kemudian Allah Ta'ala
menurunkan wahyu yang artinya: "Sesungguhnya Allah telah menerima
taubatnya Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikutinya -ikut berperang-
dalam masa kesulitan -sampai di firmanNya yang artinya [6];
Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Penyantun lagi Penyayang kepada mereka. Juga
Allah telah menerima taubat tiga orang yang ditinggalkan di belakang, sehingga
terasa sempitlah bagi mereka bumi yang terbentang luas ini -sampai di firmanNya
yang artinya- Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama
orang-orang yang benar." (at- Taubah: 117-119) Ka'ab berkata: "Demi
Allah, belum pernah Allah mengaruniakan kenikmatan padaku sama sekali setelah
saya memperoleh petunjuk dari Allah untuk memeluk Agama Islam ini, yang
kenikmatan itu lebih besar dalam perasaan jiwaku, melebihi perkataan benarku
yang saya sampaikan kepada Rasulullah s.a.w., sebab saya tidak mendustainya,
sehingga andaikata demikian tentulah saya akan rusak sebagaimana kerusakan yang
dialami oleh orang-orang yang berdusta -maksudnya ialah kerusakan agama bagi
dirinya, akhlak dan lain-lain. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman kepada
orang-orang yang berdusta ketika diturunkannya wahyu, yaitu suatu kata-kata
terburuk yang pernah diucapkan kepada seorang. Allah Ta'ala berfirman yang
artinya: "Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika engkau
kembali kepada mereka, supaya engkau dapat membiarkan mereka. Sebab itu
berpalinglah dari mereka itu, sesungguhnya mereka itu kotor dan tempatnya
adalah neraka Jahanam, sebagai pembalasan dari apa yang mereka lakukan. Mereka
bersumpah kepadamu supaya engkau merasa senang kepada mereka, tetapi biarpun
engkau merasa senang kepada mereka, namun Allah tidak senang kepada kaum yang
fasik itu." (at- Taubah: 95-96) Ka'ab berkata: "Kita semua bertiga
ditinggalkan, sehingga tidak termasuk dalam urusan golongan orang-orang yang
diterima oleh Rasulullah s.a.w. perihal alasan-alasan mereka itu, yaitu ketika
mereka juga bersumpah padanya, lalu memberikan janji-janji kepada mereka supaya
setia dan memohonkan pengampunan untuk mereka pula. Rasulullah s.a.w. telah
mengakhirkan urusan kita bertiga itu sehingga Allah memberikan keputusan dalam
peristiwa tersebut." Allah Ta'ala berfirman: "Dan juga kepada tiga
orang yang ditinggalkan." Bukannya yang disebutkan di situ yaitu dengan
firmanNya "Tiga orang yang ditinggalkan dimaksudkan kita membelakang dari
peperangan, tetapi Rasulullah s.a.w. yang meninggalkan kita bertiga tadi dan
menunda urusan kita, dengan tujuan untuk memisahkan dari orang-orang yang
bersumpah dan mengemukakan alasan-alasan padanya, kemudian menyampaikan
masing-masing keuzurannya dan selanjutnya beliau s.a.w., menerima alasan-alasan
mereka tersebut." (Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
"Bahwasanya Rasulullah s.a.w. keluar untuk berangkat ke peperangan Tabuk
pada hari Kamis dan memang beliau s.a.w. suka sekali kalau keluar pada hari
Kamis itu." Dalam riwayat lain disebutkan pula: "Beliau s.a.w. tidak
datang dari sesuatu perjalanan melainkan di waktu siang di dalam saat dhuha dan
jikalau beliau s.a.w. telah datang, maka lebih dulu masuk ke dalam masjid,
kemudian bershalat dua rakaat lalu duduk di dalamnya."
Keterangan:
Secara jelasnya makna Khullifuu
dalam ayat di atas itu ialah: ditangguhkannya tiga orang itu perihal
dimaafkannya dan ditundanya untuk diterima taubatnya sehingga limapuluh hari
limapuluh malam lamanya. Jadi Khullifuu bukan bermaksud ditinggalkannya orang
tiga di atas oleh Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya ketika tidak
mengikuti perang Tabuk. Oleh sebab itu orang lain yang tidak mengikuti perang
Tabuk dan berani bersumpah serta mengemukakan alasan-alasan yang beraneka
macamnya, lalu dimaafkan oleh Nabi s.a.w. dan tidak ikut dikucilkan, tidak
dapat dimasukkan dalam golongan "Tiga orang yang ditinggalkan"
tersebut. Jadi diterima atau tidaknya alasan yang mereka kemukakan itu belum
dapat dipastikan kebenarannya, sebab yang Maha Mengetahui hanyalah Allah Ta'ala
sendiri. Jelasnya kalau benar alasannya, tentulah dimaafkan oleh Allah, sedang
kalau tidak, tentu saja ada siksanya bagi orang yang berdusta itu, apabila
Allah tidak mengampuninya. Adapun tiga orang di atas sudah pasti dimaafkan dan
juga telah diterima taubatnya.
22. Dari Abu Nujaid (dengan
dhammahnya nun dan fathahnya jim) yaitu Imran bin Hushain al-Khuza'i
radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi
Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam keadaan hamil karena perbuatan zina.
Kemudian ia berkata: "Ya Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu
perbuatan yang harus dikenakan had -hukuman- maka tegakkanlah had itu atas
diriku." Nabiyullah s.a.w. lalu memanggil wali wanita itu lalu bersabda:
"Berbuat baiklah kepada wanita ini dan apabila telah melahirkan -kandungannya,
maka datanglah padaku dengan membawanya." Wali tersebut melakukan apa yang
diperintahkan. Setelah bayinya lahir -lalu beliau s.a.w. memerintahkan untuk
memberi hukuman, wanita itu diikatlah pada pakaiannya, kemudian dirajamlah.
Selanjutnya beliau s.a.w. menyembahyangi jenazahnya. Umar berkata pada beliau:
"Apakah Tuan menyembahyangi jenazahnya, ya Rasulullah, sedangkan ia telah
berzina?" Beliau s.a.w. bersabda: "Ia telah bertaubat benar-benar,
andaikata taubatnya itu dibagikan kepada tujuhpuluh orang dari penduduk
Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah pernah engkau menemukan seorang yang
lebih utama dari orang yang suka mendermakan jiwanya semata-mata karena mencari
keridhaan Allah 'Azzawajalla." (Riwayat Muslim)
23. Dari Ibnu Abbas dan Anas bin
Malik radhiallahu 'anhum bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Andaikata
seorang anak Adam -yakni manusia- itu memiliki selembah emas, ia tentu
menginginkan memiliki dua lembah -emas lagi- dan sama sekali tidak akan
memenuhi mulutnya kecuali tanah -yaitu setelah mati- dan Allah menerima taubat
kepada orang yang bertaubat." (Muttafaq 'alaih)
24. Dan dari Abu Hurairah r.a.
bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah Subhanahu wa Ta'ala tertawa
-merasa senang- kepada dua orang yang seorang membunuh pada lainnya, kemudian
keduanya dapat memasuki syurga. Yang seorang itu berperang fisabilillah
kemudian ia dibunuh, selanjutnya Allah menerima taubat atas orang yang
membunuhnya tadi, kemudian ia masuk Islam dan selanjutnya dibunuh pula sebagai
seorang syahid." (Muttafaq 'alaih)
Catatan
Kaki:
[6] Lengkapnya
ayat-ayat 117, 118 dan 119 dari surat at-Taubah itu artinya adalah sebagai
berikut: 117. Sesungguhnya Allah telah
menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang mengikuti Nabi dalam
masa kesulitan. Yaitu setelah hati sebagian dari mereka hampir menyimpang,
kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih
Lagi Penyayang kepada mereka. 118. Allah juga menerima taubatnya tiga orang yang ditinggalkan di belakang
sehingga bumi yang luas terbentang ini terasa sempit oleh mereka dan mereka
rasakan nafas mereka menjadi sesak. Mereka mengetahui bahwa tidak ada tempat
berlindung dari siksa Allah melainkan kepada Allah. Kemudian Allah menerima
taubat mereka supaya mereka kembali - ke jalan yang benar -. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penerima taubat lagi Penyayang. 119. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah
kamu semua itu bersama-sama orang-orang yang benar - kata-kata serta
perbuatannya.
Sumber:
Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid
1 - Pustaka Amani, Jakarta
Terjemah
Riyadhush Shalihin - Jilid 2 - Pustaka Amani, Jakarta
No comments:
Post a Comment